Songkok Recca atau Songkok To Bone merupakan produk kopiah
tradisional yang memiliki ciri khas yang berasal dari Kabupaten Bone.
Keberadaan Songkok To Bone tak bisa dipisahkan dengan salah satu desa di
Kecamatan Awangpone, yakni Desa Paccing.
Desa Paccing adalah pusat pengrajin songkok To Bone. Sebagian besar
warganya merupakan pengrajin songkok To Bone. Para pengrajin itu
didominasi oleh kalangan ibu rumah tangga (IRT).
Songkok yang dibuat di desa ini memiliki ciri khas karena terbuat dari
serat pelepah pohon lontar, yang memang banyak tumbuh di desa ini.
Pembuatan songkok masih bersifat tradisional. Para IRT menganyam
songkok dengan dudukan kayu yang disebut oleh warga sekitar dengan
Assareng. Assareng dibuat dari kayu pohon, yang sudah didesain khusus
berbentuk kepala manusia, untuk merangkai serat pelepah lontar menjadi
songkok.
Ihwal namanya (recca, red) diperkirakan berasal dari cara pembuatannya
yang menggunakan bahan baku dari serat pelepah daun lontar yang
dipukul-pukul (dalam bahasa Bugis: direcca-recca).
Salah seorang pedagang songkok To Bone di Desa Paccing, H Rahman
mengatakan, harga sebuah songkok tergantung dari kualitas pinggiran
songkok. Dari mulai puluhan ribu hingga puluhan juta rupiah. Menurut
dia, jika songkok tradisional ini pinggirannya dilapisi emas dengan
kadar 80 persen dengan lebar lapisan emasnya 2 centimeter, maka harganya
berkisar Rp16 juta.
Bahkan, bisa mencapai puluhan juta rupiah, tergantung berapa banyak area
pada songkok yang akan dilapisi emas. Songkok To Bone dengan pinggiran
emas itu, merupakan produk songkok yang diakuinya paling banyak dicari.
Pasalnya, kata dia, pinggiran songkok itu memang dilapisi emas. Emasnya
sendiri, kata dia, dijadikan benang menggunakan alat khusus. Emas yang
sudah menjadi benang itu, kemudian dianyam pada dudukan Assareng atau
pembuat pola bentuk songkok.
Songkok To Bone tak hanya diminati oleh warga Kabupaten Bone saja,
tetapi warga dari daerah lain banyak datang ke Desa Paccing untuk
membeli Songkok ini. Bahkan, Songkok To Bone sudah memiliki peminat
hingga ke luar negeri. Di antaranya, Malaysia, Brunai Darusslaman,
Singapura, dan India.
Salah seorang pengrajin Songkok To Bone, Eva Susanti, mengatakan, untuk
pembuatan songkok masih menggunakan alat tradisional, dan keahlian
masyarakat di Desa Paccing sebagai pengrajin Songkok To Bone, itu
merupakan keahlian turun temurun.
Eva mengatakan, dalam seminggu dia bisa menghasilkan 1 hingga 2 buah
Songkok To Bone, yang kemudian dijualnya ke sejumlah pedagang di desa
ini. Permintaan songkok itu sendiri, semakin meningkat pada bulan
Agustus jelang peringatan HUT Proklamasi RI.
Cara pembuatan songkok ini, kata dia, proses awalnya harus memisahkan
terlebih dahulu serat dari pelepah pohon lontar, yang kemudian
dikeringkan dan dihaluskan. Setelah kering, serat itu kemudian mulai
dianyam dengan menggunakan Assareng atau pembuat pola bentuk songkok.
Eva menambahkan, setelah songkok itu sudah terbentuk, langkah
selanjutnya dilakukan pewarnaan pada songkok dengan pewarna alamiah.
"Pembuatannya untuk satu buah songkok membutuhkan waktu satu minggu,"
jelasnya, Selasa, 9 Oktober.
Terpisah, Kepala Desa Paccing, Sainuddin mengatakan, masyarakat di
desanya sebagian besar sebagai pengrajin Songkok To Bone, yang
didominasi oleh perempuan. Keahlian warganya itu, jelasnya, diwariskan
secara turun temurun. Menurutnya, pengrajin Songkok To Bone menjadi
salah satu penghasilan warga di desanya.
Sekretaris Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Bone, M
Asa'ad, mengatakan, sejak dulu sampai sekarang, Desa Paccing menjadi
pusat pengrajin Songkok To Bone. Keberadaan songkok itu, kata dia,
diyakini sejak zaman pemerintahan Andi Mappanyukki sebagai raja Bone ke
31.
“Dahulu, songkok ini menunjukkan strata sosial dari yang
menggunakannya,” ujarnya.
M Asa’ad menambahkan, pihaknya giat melakukan pembinaan kepada para
pengrajin yang berada di Desa Paccing. Apalagi masyarakat setempat sudah
membentuk kelompok untuk memproduksi songkok ini.
Dia merinci dalam melakukan pembinaan kepada para pengrajin di Desa
Paccing, ada 4 orang Tenaga Penyuluh Lapangan-Industri Kecil dan
Menengah (TPL-IKM) yang memberikan penyuluhan terkait manajemen
pengelolaan produk dan pemasaran kepada para pengrajin di Desa Paccing.
"Bahkan jika ada pameran terkait industri kecil dan menengah, beberapa
pengrajin diikutsertakan," jelasnya.
Selain itu, tambah dia, pihaknya juga memberikan penyuluhan kepada para
pengrajin terkait pengelolaan dan pemasaran produk unggulan Kabupaten
Bone ini. Serta memberikan pemahaman kepada pengrajin terkait mutu
produksi. Apalagi, kata dia, pemasaran Songkok To Bone tidak dalam skala
lokal saja, tetapi nasional, bahkan internasional.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar